Kamis, 24 April 2014

Pokok-Pokok Pikiran Dalam RUU ITE dan Implikasi Pemberlakuan RUU ITE


Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.


Undang-undang ini berisikan asas dan tujuan telekomunikasi, penyidikan, penyelenggaraan telekomunikasi, sangsi administrasi dan ketentuan pidana.
Menurut undang-undang No. 36 Tahun 1999 mengenai Telekomunikasi pada pasal 38 yang berisikan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Pada undang-undang ini lebih terfokus kepada gangguan yang bersifat infrastruktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi content informasi. Dengan munculnya undang-undang ini membuat terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi.
Jadi UU no.36 tersebut dapat mengatur penggunaan teknologi informasi, karena dalam undang-undang tersebut berarah kepada tujuan telekomunikasi dan otomatis dapat sekaligus mengatur penggunaan informasi tersebut sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam undang-undang ini juga tertera tentang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga telekomunikasi dapat diarahkan dengan baik karena adanya penyelenggaraan telekomunikasi tersebut.
Penyidikan dan sangsi administrasi dan ketentuan pidana pun tertera dala undang-undang ini, sehingga penggunaan telekomunikasi lebih terarah dan tidak menyimpang dari undang-undang yang telah ada. Sehingga menghasilkan teknologi informasi yang baik dalam masyarakat.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU ITE, UU ITE mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 21 April 2008. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan PErundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan muali berlaku dam mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangakan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Oleh akrena itu, ketentuan pidana dalam UU ITE sudah langsung dapat dijalankan tanpa perlu menunggu Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, jika Pasal-psal yang dirujuk oleh Pasal 45 samapi Pasal 51 tersebut memerlukan pengaturan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah, maka Pasal-pasal tersebut menunggu adanya Peraturan Pemerinta, tidak harus emnunggu selama 2 tahun, melainkan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah. sebaliknya, jika pasal-pasal yang di rujuk Pasal 45 sampai Pasal 51 tersebut tidak memerlukan pengaturan dalam abentuk Pengaturan Pemerintah,maka tindak pidana dalam UU ITE tersebut dapat langsung dilaksanakan.

Dampak positif dan negatif dari diberlakukannya undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Banyak Pro dan Kontra terhadap diberlakukannya UU ITE, tetapi menurut saya kalau UU ITE tersebut membawa kebaikan bagi semua pihak, kenapa tidak? Pasti dari setiap perbuatan ada positif dan negatifnya, sama halnya dengan pemberlakuan UU ITE pasti ada sisi positif dan negatif.

Dampak Positif UU ITE
UU ITE baru disahkan pada tanggal 25 Maret 2008 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi, sebenarnya rancangan ini sudah dibentuk sejak tahun 2003.
Dengan UU ITE ini, para penyedia konten akan terhindar dari pembajakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, karena sudah ada landasan hukum yang melindungi mereka. Tapi yang kita lihat saat ini, masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap UU ITE tersebut.
UU ITE juga untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan internet, yang berimplikasi pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya UU ITE ini menjadi payung hukum aparat kepolisian untuk bertindak tegas dan selektif terhadap penyalahgunaan internet dan bukan dijadikan alat penjegalan politik dan elit tertentu atau mementingkan segolongan orang.
UU ITE itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang atau kegiatan ekonomi lainnya lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.
UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.

Dampak Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi negatifnya. yakni banyaknya orang yang terjerat pasal pada UU ITE misalnya saja contoh kasus Prita Mulyasari yang terjerat UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik yang diajukan oleh rumah sakit OMNI Internasional secara pidana. Sebelumnya prita Mulyasari pernah kalah dalam sidang perdatanya dan diputus bersalah kemudian menjalani penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Selain Prita Mulyasari juga ada Luna Maya yang harus berurusan dengan UU ITE. Kasus ini berawal dari tulisan Luna Maya dalam akun twitter yang terjerat pasal 27 ayat 3 Nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Tulisan di akun twitternya yang menyebutkan “infotainment derajatnya lebih hina dari pada pelacur dan pembunuh”. Sebenarnya hal itu tidak perlu untuk ditulis dalam akun Twitternya, karena hal tersebut terlalu berlebihan apalagi disertai dengan pelontaran sumpah serapah yang menghina dan merendahkan profesi para pekerja infotainment.
        Dari dua kasus tersebut sebenarnya hanya hal yang kecil dan terlalu dibesar-besarkan, sebagai warga negara yang berdemokrasi bebas untuk mengeluarkan pendapatnya atau unek-uneknya. Hanya saja penempatannya saja yang salah. Menurut analisis saya, seharusnya Prita Mulyasari menceritakan kasus atau curhatannya secara lisan kepada temannya hanya lewat telepon saja tidak perlu lewat e-mail segala, yang jadi masalahnya adalah menceritakan kasusnya via e-mail kepada temennya, jika e-mail tersebut disebarkan oleh temannya di milis. Terus di milis bisa di copy paste masukin blog, blog dibaca semua orang. Nah disitulah curhatannya yang bersifat pribadi menjadi bersifat umum, sehingga pihak yang terkait dalam surat tersebut merasa tersinggung kemudian pihak tersebut menggugat Prita. Jadi kesalahan yang sekecil apapun harus berhati-hati apalagi di dunia maya.
        Selain itu juga tindak kejahatan di dunia maya atau internet semakin marak dengan berbagai modus kejahatan. Salah satu bentuknya yang wajib diwaspadai adalah pencurian data account penting. Pelakunya sering disebut hacker dengan cara menjebak orang lain untuk tidak sadar bersedia memberikan data account-nya.

Keterbatasan Undang-undang telekomunikasi dalam mengatur penggunaan teknologi informasi

sumber 1


1.Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, misalnya, menegaskan bahwa “…pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang” (penjelasan Pasal 40).


Di luar UU Telekomunikasi, beberapa peraturan perundang-undangan yang juga mengatur tentang tindak penyadapan antara lain UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada tingkat di bawah undang-undang, terdapat Permenkominfo No 11/PER/M.KOMINFO/020/2006. Atau pada lembaga penegak hukum tertentu seperti KPK memiliki standard operating procedure tentang teknis penyadapan.

Ragamnya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyadapan sayangnya mengandung kelemahan. Satu aturan bertentangan atau tidak sejalan dengan aturan yang lain. UU Telekomunikasi yang dibentuk sebelum lahirnya KPK, misalnya, belum mengakomodir keberadaan lembaga pimpinan Tumpak Hatorangan Panggabean ini. Atau prosedur penyadapan yang diatur dalam UU Narkotika berbeda dengan prosedur yang selama ini digunakan KPK. Akibatnya, tindakan penyadapan oleh penegak hukum berjalan sporadis.

2. UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi mengancam pidana terhadap perbuatan :

1. memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi
2. menimbulkan gangguan fisik dan eletromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi

“semua tindak pidana dalam uu no.36 tahun 1999 dinyatakan sebagai tindakan kejahatan”
Didalam bab vii (ketentuan pidana)sama sekali tidak ada ketentuan tentang pertanggungjawaban terhadap korporasi padahal :“Penyelenggara Telekomunikasi” dapat berupa koperasi,BUMN, badan usaha swasta dan instansi pemerintah

KESIMPULAN :

* Adanya keterbatasan undang-undang yang dibuat sehingga hanya efektif sebagian karna kurang kuatnya hukum terhadap instansi pemerintah,korporasi dan sebagainya.

* Ragamnya peraturan perundangan di Indonesia dimana undang-undang yang satu saling bertentangan

* Menghadapi kondisi demikian seyogyanya ada keberanian dan inovasi dari penegak hukum untuk mengefektifkan peraturan yang ada dengan melakukan interpretasi atau kontruksi hukum yang bersumber pada teori atau ilmu hukum,pendapat ahli,jurisprudensi,atau bersumber dari ide-ide dasar yang secara konseptual dapat dipertanggungjawabkan.

Ruang Lingkup Undang-Undang Tentang Hak Cipta dan Prosedur Pendaftaran HAKI di Depkumham



UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta ©. Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

LINGKUP HAK CIPTA

a. Ciptaan Yang Dilindungi

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu :

1. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.

2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan

3. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks

4. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime

5. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, Arsitektur, Peta, Seni batik, Fotografi, Sinematografi

6. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.

b. Ciptaan Yang Tidak Diberi Hak Cipta

Sebagai Pengecualian Terhadap Ketentuan Di Atas, Tidak Diberikan Hak Cipta Untuk Hal - Hal Berikut :

1. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara
2. Peraturan perundang-undangan
3. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah
4. Putusan pengadilan atau penetapan hakim
5. Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

BENTUK DAN LAMA PERLINDUNGAN

Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan :

1. Program computer
2. Sinematografi
3. Fotografi
4. Database
5. Karya hasil pengalih wujud dan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.

PELANGGARAN DAN SANKSI

Dengan Menyebut / Mencantumkan Sumbernya, Tidak Dianggap Sebagai Pelanggaran Hak Cipta Atas :

Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.

Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan.

Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.

Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial.

Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya: perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan : pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:
Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

PENDAFTARAN HAK CIPTA

Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen HKI-DepkumHAM).

Perbandingan Cyberlaw di berbagai negara


Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.

PERBEDAAN CYBER LAW DI BERBAGAI NEGARA (INDONESIA, MALAYSIA, SINGAPORE, VIETNAM, THAILAND, AMERIKA SERIKAT) 

CYBER LAW NEGARA INDONESIA :

Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.  Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.

Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.

Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.

CYBER LAW NEGARA MALAYSIA :
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.

CYBER LAW NEGARA SINGAPORE :
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapore.

ETA dibuat dengan tujuan :
• Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik   
  yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan 
   pengembangan dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin 
  / mengamankan perdagangan elektronik;
• Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan
• Meminimalkan timbulnya arsip alektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan 
  disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
• Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
• Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan 
  elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik 
  melalui penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat 
  menyurat yang menggunakan media elektronik.

Didalam ETA mencakup :
• Kontrak Elektronik
   Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang online yang dilakukan secara wajar dan 
   cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
• Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
  Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki oleh network service provider untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut. 
 • Tandatangan dan Arsip elektronik
Hukum memerlukan arsip/bukti arsip elektronik untuk menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum.
Di Singapore masalah tentang privasi,cyber crime,spam,muatan online,copyright,kontrak elektronik sudah ditetapkan.Sedangkan perlindungan konsumen dan penggunaan nama domain belum ada rancangannya tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.

CYBER LAW NEGARA VIETNAM :
Cyber crime,penggunaan nama domain dan kontrak elektronik di Vietnam suudah ditetapkan oleh pemerintah Vietnam sedangkan untuk masalah perlindungan konsumen privasi,spam,muatan online,digital copyright dan online dispute resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga belum ada rancangannya.

Dinegara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah keberadaannya,hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang mengatur masalah cyber,padahal masalah seperti spam,perlindungan konsumen,privasi,muatan online,digital copyright dan ODR sangat penting keberadaannya bagi masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.

CYBER LAW NEGARA THAILAND :
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand sudah ditetapkan oleh pemerintahnya,walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti privasi,spam,digital copyright dan ODR sudah dalalm tahap rancangan.

Cyberlaw di Amerika Serikat
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL).

Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :

Pasal 5 :
Mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik
Pasal 7 :
Memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
Pasal 8 :
Mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
Pasal 9 :
Membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 10 :
Menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
Pasal 11 :
Memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
Pasal 12 :
Menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
Pasal 13 :
“Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik”
Pasal 14 :
Mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15 :
Mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
Pasal 16 :
Mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.

Undang-Undang Lainnya :
• Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
• Uniform Computer Information Transaction Act
• Government Paperwork Elimination Act
• Electronic Communication Privacy Act
• Privacy Protection Act
• Fair Credit Reporting Act
• Right to Financial Privacy Act
• Computer Fraud and Abuse Act
• Anti-cyber squatting consumer protection Act
• Child online protection Act
• Children’s online privacy protection Act
• Economic espionage Act
• “No Electronic Theft” Act

Undang-Undang Khusus :
• Computer Fraud and Abuse Act (CFAA)
• Credit Card Fraud Act
• Electronic Communication Privacy Act (ECPA)
• Digital Perfomance Right in Sound Recording Act
• Ellectronic Fund Transfer Act
• Uniform Commercial Code Governance of Electronic Funds Transfer
• Federal Cable Communication Policy
• Video Privacy Protection Act

Undang-Undang Sisipan :
• Arms Export Control Act
• Copyright Act, 1909, 1976
• Code of Federal Regulations of Indecent Telephone Message Services
• Privacy Act of 1974
• Statute of Frauds
• Federal Trade Commision Act
• Uniform Deceptive Trade Practices Act


Kesimpulan

Dalam hal ini Thailand masih lebih baik dari pada Negara Vietnam karena Negara Vietnam hanya mempunyai 3 cyberlaw sedangkan yang lainnya belum ada bahkan belum ada rancangannya.

Kesimpulan dari 5 negara yang dibandingkan adalah Negara yang memiliki cyberlaw paling banyak untuk saat ini adalah Indonesia,tetapi yang memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya adalah Malaysia karena walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya sudah dalam tahap perencanaan sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap perencanaan.Untuk Thailand dan Vietnam,Vietnam masih lebih unggul dalam penanganan cyberlaw karena untuk saat ini saja terdapat 3 hukum yang sudah ditetapkan tetapi di Thailand saat ini baru terdapat 2 hukum yang ditetapkan tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat ini sedang dirancang.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management